Ada sebuah kursi rotan tua di sudut ruang tamu rumah masa kecilku. Warnanya telah pudar, rotannya mulai retak, dan satu lengannya sudah longgar. Tapi entah mengapa, benda itu tetap bertahan di sana, menjadi saksi bisu dari ratusan sore yang penuh tawa, isak tangis, dan kenangan yang tak pernah sepenuhnya hilang.
Kursi itu bukan sekadar furnitur—ia adalah semacam penanda waktu. Setiap jejak lekuk tubuh yang tertinggal di permukaannya adalah memoar yang diam-diam ditulis oleh kehidupan. Di sanalah Ayah biasa duduk sepulang kerja, membuka koran dan menyeruput kopi hitam buatan Ibu. Di sanalah aku duduk ketika demam, dibalut selimut tipis dan dielus punggungku oleh tangan hangat Ibu. Di sanalah, untuk pertama kalinya, aku membaca puisi dengan suara keras dan malu-malu, disaksikan oleh adik yang tertawa-tawa.
Masa kecil, dalam ingatan kita, sering kali kabur dan lembut seperti embun pagi. Tapi ada hal-hal tertentu yang menetap begitu kuat—aroma kayu basah saat hujan pertama, suara kipas angin tua yang berdecit, atau cahaya senja yang masuk lewat jendela nako. Semua itu membentuk lanskap batin yang tenang, namun penuh gejolak emosional. Rumah, bagi banyak dari kita, bukan hanya bangunan fisik, melainkan ruang psikologis tempat semua rasa pertama kali bersemayam.
Ketika dewasa dan kehidupan membawa kita menjauh, kita mulai menyadari betapa banyak hal yang telah kita tinggalkan. Rumah masa kecil, dengan semua kesederhanaannya, berubah menjadi sesuatu yang hampir mitologis—tempat yang terasa nyata dan tidak nyata sekaligus. Kita bisa menggambarnya dengan jelas dalam kepala, tetapi ketika kembali secara fisik, selalu ada yang terasa ganjil: langit-langit yang tampak lebih rendah, kamar yang lebih sempit dari yang kita ingat, dan tentu saja, kursi rotan yang kini sepi tanpa penghuninya.
Memoar ini adalah tentang semua itu—tentang bagaimana kita mencoba menggenggam masa lalu dengan tangan yang kini berbeda. Tentang kerinduan yang tidak punya alamat tujuan. Tentang pertanyaan yang tidak lagi punya penjawab.
Ada hal-hal yang tidak bisa kembali: suara Ibu di dapur yang memanggil untuk makan siang, langkah kaki Ayah di teras yang menandakan ia pulang, atau bahkan diriku sendiri yang dulu—yang belum tahu apa-apa tentang kehilangan. Semua itu telah pergi, meskipun jejaknya tetap tertinggal di hati dan benda-benda yang diam. Seperti kursi rotan itu.
Namun, bukan berarti semua yang pergi harus dilupakan. Justru sebaliknya, mengenang adalah cara kita memberi makna pada yang telah lewat. Dengan menulis memoar ini, aku mencoba memeluk kembali serpihan-serpihan masa kecil yang tercecer. Mungkin aku tidak bisa duduk lagi di kursi itu seperti dulu, tapi aku bisa mengunjunginya dalam kata-kata, dalam bayangan, dalam rasa syukur yang diam-diam tumbuh di sela kenangan.
Dalam dunia yang terus bergerak cepat dan berubah tanpa henti, rumah dan masa kecil adalah jangkar. Mereka memberi kita titik awal, akar yang dalam diam menopang langkah-langkah kita ke depan. Dan kursi rotan itu—meskipun tua, ringkih, dan tak lagi sering diduduki—tetap berdiri sebagai pengingat bahwa kita pernah ada, pernah bahagia, dan pernah merasa utuh di suatu waktu yang sederhana.
Pada akhirnya, “Jejak yang Tertinggal di kursi ergonomis Rotan” bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang penerimaan. Tentang belajar merangkul perubahan, sembari tetap menyimpan rasa hangat dari masa lalu. Karena meski kita tak bisa kembali, kita bisa selalu pulang—setidaknya dalam hati.